Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)
RSS

Minggu, 05 Desember 2010

Kesenian Tradisional

Workshop dan Gelar Pakeliran Padat Gaya Yogyakarta Tahun 2010, Wayang Gaya Yogyakarta dan Surakarta Saling Mengisi


Pementasan wayang padat gaya Yogyakarta sebagai bagian dari workshop dan Gelar Pakeliran Padat Gaya Yogyakarta di Taman Budaya Yogyakarta, Senin (23/11).

Dinas Kebudayaan Provinsi DIY menggelar Workshop dan Gelar Pakeliran Padat Gaya Yogyakarta Tahun 2010 dalam rangka pelestarian kesenian tradisional wayang gaya Yogyakarta yang keberadaannya ternyata kalah populer dengan wayang gaya Surakarta.

Sebanyak 50 anggota dari Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) kabupaten/kota DIY menjadi peserta workshop ini.

Empat nara sumber pelaku kesenian tradisional wayang gaya Yogyakarta menjadi pembicara dalam workshop ini. Mereka adalah Slamet HS, panitia pergelaran wayang kulit Sasana Siti Hinggil Kraton Yogyakarta, Trustho M.Hum, staf pengajar karawitan ISI Yogyakarta, Dalang Sleman, Ki Suwondho serta Ki Subarno, Direktur Habirandho, sekolah wayang Kraton Yogyakarta. Sementara Sumaryono, mantan Ketua Dewan Kebudayaan Bantul menjadi moderator.

Selain seminar, workshop juga diisi dengan pementasan wayang padat gaya Yogyakarta yang dipentaskan dalang muda Yogyakarta Ki Edi Suwondho yang menampilkan cerita “Serat Kalimasadha Kajarwa” yang ditulis oleh GBPH Yudoningrat.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Djoko Dwiyanto mengatakan workshop ini akan mendiskusikan, menilai, mengidentifikasi dalang-dalang yang konsisten dengan gaya Yogyakarta. Joko Dwiyanto juga mengatakan saat ini pakeliran (pementasan) wayang gaya Yogyakarta mengalami tantangan besar akibat kalah pamor dengan wayang gaya Surakarta dan pergeseran pasar di masyarakat.

Mengenai kalah pamor itu, Joko bercerita, Sultan menantang Dinas Kebudayaan untuk bisa menampilkan wayang gaya Yogyakarta untuk bisa pentas di kelompok-kelompok masyarakat Jawa di luar Jawa (nasional dan internasional) karena selama ini pentas wayang yang dipentaskan pada masyarakat Jawa di luar daerah adalah wayang gaya Surakarta.

“Beliau (Sultan,red) menyempatkan hadir (pada salah satu kelompok masyarakat Jawa di luar daerah,red) begitu naik pentas yang tampil gaya di luar Yogyakarta (gaya Surakarta). Bukan pada sentiment wilayah atau gay, bukan itu tapu yang prihatin kalau wayang gaya Surakarta (Solo) menyebar mengapa gaya Yogyakarta tidak,” kata Joko Dwiyanto.

Sementara itu, Sumaryono menerangkan, banyak hal yang menjadi bahan diskusi dalam workshop yang diikuti dalang muda, pesinden serta pemusik gamelan di kabupaten/kota Yogyakarta ini.

Misalnya, Sumaryono mengatakan wayang Yogyakarta harus mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman agar tidk terjadi stagnasi. Oleh sebab itu dibutuhkan kreatifitas yang berasal dari tanda-tanda jaman.

Pendekatan kreatifitas yang bisa dilakukan, menurut Sumaryono antara lain membuat variasi terhadap pakem wayang yang bisa diubah. “Memang ada pakem yang tidak bisa diubah tapi ada pakem yang bisa dibuat variasi yang harus dikembangkan. Variasi itu tidak apa-apa dilakukan,” kata mantan Ketua Dewan Kebudayaan Bantul ini.

Dalam seminar, juga sempat terjadi ketegangan antara salah satu peserta dari Pepadi Gunungkidul dan salah satu pembicara yaitu Edi Suwondo. Perkataan Edi Suwondo yang mengatakan wayang gaya Yogyakarta kalah pamor dengan gaya Solo menyulut kata-kata keras wakil Pepadi Gunung Kidul.

Mengenai hal ini, Sumaryono mengatakan, dalang wayang gaya Yogyakarta sering merasa inferior (kecil hati) dengan dalang wayang gaya Surakarta. Ketegangan terjadi karena mungkin ada dalang seni tradisi (pakem) yang tidak terima.

“Padahal sebenarnya wayang gaya Yogyakarta mempunyai bahan (materi wayang) yang lebih bagus. Persoalannya bukan gaya wayangnya tapi proses interaksi teks dan gaya,” kata alumni seni pedalangan ISI Yogyakarta tahun 1985 ini.

Lebih lanjut, Sumaryono menerangkan selama ini yang terjadi di lapangan, dalang wayang gaya Solo seperti Manteb Sudarsono menggunakan gaya Yogyakarta tapi diolah sesuai dengan tradisi wayang gaya Surakarta.

Olah gaya itu misalnya dilakukan pada gending (musik) dan cerita (lakon). “Misalnya goro-goro itu ngga ada di Solo tapi itu ditampilkan pada wayang gaya Solo. Limbukan itu ngga ada pada wayang gaya Yogyakarta tapi ada di (gaya) Solo, sekarang (wayang gaya Yogyakarta) ada,” terang Sumaryono.

“Wayang gaya Yogyakarta dan Solo saling mengisi. Dalang-dalang wayang gaya Yogyakarta masih perlu di dorong untuk tidak sekedar memainkan wayang gaya Yogyakarta,” kata mahasiswa S-3 pengkajian seni pertunjukan dan kehidupan dalang sebagai bagian dari pertunjukan UGM ini.(Jogjanews.com/joe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar